Usia
baru 5 tahun ketika pertama kalinya aku tertarik pada lawan jenis.
Namanya Rio. Jangan bayangkan pertemuan yang dramatis, karena caraku
menyukainya sangat simple. Dia tertidur di kelas saat jam pelajaran,
dan Bu Umi –nama guruku- memarahinya di depan kelas. Dan sejak saat
itulah dia menjadi cinta pertamaku.
Apa?
Cerita selanjutnya? Ya itulah akhirnya. Apa yang kalian harapkan dari
kisah cinta anak TK? rasa sukaku bertahan sampai aku berusia 9 tahun.
Jangan tertawa, aku tahu ini sangat konyol.
oOo
Kisah
cinta keduaku dimulai sejak kelasku kedatangan murid baru. Tinggi,
berkulit coklat khas pribumi, dan seorang atlit. Dia adalah atlit
kebanggan sekolah, mulai dari sepakbola, bulu tangkis, voli, sampai
lari. Kurangnya hanya satu, dia sangat lemah di akademik. Setiap ada
tugas, maka dia akan mencariku, dan menyalin tugasku.
Hubungan
kami sangat stabil alias tidak ada perkembangan. Hampir setahun kami
habiskan dengan PDKT, namun tak banyak hasil yang berarti. Sampai
ketika kami duduk di kelas 6 Sekolah Dasar, akhirnya kami berpacaran.
Namun tidak bertahan lama, 2 bulan kemudian kami putus.
“Kita
terlalu berbeda.” Itu yang dia katakan. Bagaimana tidak? Selisih
usiaku dengannya hampir 5 tahun, jangan Tanya kenapa kami bisa
sekelas. Itu karena dia sering tidak naik kelas dan suka berpindah
sekolah. Dan lagi kegemaran kami berbeda, dia sangat suka olahraga,
dan aku sangat sangat dan sangat benci olahraga. Jika disuruh
memilih, aku akan memilih membaca buku daripada berpanasan di
lapangan.
7
November, 16 hari sebelum ulang tahunnya, hubungan kami berakhir.
Namun kami tetap bersahabat dekat. Bahkan beberapa temanku bilang,
kami lebih dekat saat menjadi sahabat. Oh iya, namanya Awan, Agus
Setiawan.
oOo
Semester
genap selanjutnya, hari-hariku diisi dengan kegiatan bimbel. Pagi,
siang, sore, malam aku mempersiapkan diri untuk menghadapi Ujian
Nasional. Tapi bukan berarti hatiku kosong. Yogi Prananda. Dia
temanku di bimbel, namun berbeda sekolah. Kedekatan kami hanya karena
kami sering terlambat dan akhirnya duduk di pojokan berdua.
Dia
tipe pria baik-baik, bahkan aku berani bertaruh kalau dia tidak
pernah membolos. Dia sangat baik, cenderung bisa dikerjai malah. Dan
sebenarnya dia tipe pemalu. Itulah alasan kenapa Yogi tidak pernah
mengikat hubungan kami.
“Aku
pengen punya status yang jelas sama kamu. Aku ngga
mau diejekin sama anak-anak terus, padahal kita ngga
ada hubungan apa-apa.” Protesku saat kami terjebak di tempat
bimbel, karena sore itu hujan turun sangat deras.
“Apa
pentingnya sih? Toh perasaanku ngga
perlu
pake status. Yang penting aku peduli sama kamu.”
“Tapi
tetep aja aneh. Liat deh Rian sama Rivo, hubungan mereka jelas.”
Jawabku ngotot. Tentu saja aku iri, Rivo kan rival terberatku. Dan
Yogi hanya tertawa sambil mengacak rambutku.
“Jangan
mudah iri. Aku sayang kamu, bawel.”
Dan
pembicaraan kami berakhir karena jemputanku sudah datang.
Dan
hubungan kami tetap begitu. Dekat dan tanpa status. Namun semuanya
berubah saat keluargaku membuat keputusan mendadak. Keluargaku harus
pindah ke kota lain, secepatnya. Esoknya aku memberi tahu kabar itu
kepada Yogi, dan dia hanya diam.
Dan
sejak saat itu, dia menghindariku. Jangankan ngobrol, bertemu
dengannya saja sangat sulit. Seluruh teman-temanku hanya mengernyit
bingung. Beberapa dari mereka mendekatiku, menanyakan apakah aku dan
Yogi putus. Aku hanya mampu tersenyum lemah. Aku bisa menjawab apa?
Hingga
akhirnya setelah ujian terlewati, dan semua urusan sekolahku selesai,
keluargaku pindah. Dan aku tetap tidak bertemu Yogi, sampai sekarang.
oOo
10
tahun telah berlalu. Aku masih mengingat Yogi dengan jelas, meski aku
tak yakin kalau aku masih mencintainya. Aku menyadari bahwa kisahku
dengan Yogi tidak lebih dari sebuah cinta monyet, meski terkadang aku
masih merindukannya. Aku masih penasaran dengan alasan dibalik
diamnya dia.
“Oek~
Oekk~” suara tangis bayi membuyarkan lamunanku. Ah, bukannya aku
tadi sedang mengganti popok Thea, kenapa bisa melamun.
“Sabar
sebentar sayang.” Aku segera memasang popok baru dan segera
menggendong bayi cantik ini ke pelukanku. Usianya baru 6 bulan, tapi
aktifnya melebihi balita. Dan dia tidak akan pernah membiarkanku
tidur nyenyak di malam hari.
“Thea
bangun lagi?” suara berat di belakangku membuatku menoleh. Aku
menganggukkan kepala pelan. Lalu kembali menimang Thea.
“Anak
ayah nakal sekali.” Tangan besar itu mengusap rambut Thea dengan
sayang. “Kasihan bunda sayang, lihat kantong matanya tuh.” Aku
segera mencubit pinggang pria di sampingku dengan kencang, membuatnya
menjerit kesakitan.
“Tidur
lagi sana, ngapain ikut bangun?”
“Aku
mau nemenin kamu aja.”
“Besok
kamu kuliah pagi kan? ”
“Aku
mau bolos besok, aku mau ngajak Thea jalan-jalan. ”
“ Jangan
aneh-aneh! Kapan selesai kuliahmu kalau bolos terus?”
“Tapi
aku beneran males, bunda~”
“Jangan
pake nada kayak gitu!”
“Bunda~”
“Josua!”
“Oeekk~
Oeekk~” aku sontak terdiam saat mendengar putri kecilku kembali
menangis. Josua dengan cepat mengusap rambut Thea agar kembali
tertidur. Tak lama kemudian, Thea kembali tertidur pulas. Aku segera
menidurkannya di boks bayi, dan kembali ke ranjang.
“Aku
tidur disini ya?” deritan ranjang menandakan Josua ikut naik ke
ranjangku. Aku hanya bergumam malas dan segera memeluk guling.
Ahhh,
mimpi indah aku datang!
oOo
Thea
Anindya Putri. Malaikat yang lahir untuk melengkapi hidup kami.
Josua? Dia adik tingkatku di kampus, dia ayah Thea, tapi bukan ayah
biologis. Hubunganku dengannya? Entahlah, aku juga tidak paham dengan hubungan kami. Tapi
kenyataan bahwa kami sudah menikah memang tidak bisa dipungkiri. Aku
bertemu Thea ketika sedang dirawat di rumah sakit dan mendengar
berita bahwa Thea ditinggalkan oleh orang tua kandungnya. Dan
tiba-tiba saja aku ingin merawatnya. Membesarkannya seperti anakku
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar