Jumat, 30 Desember 2011

Sahabat Ilusi


note: ini cerita bukan punya saya. punya sahabat saya. namanya Fani. dia bikin serpen ini udah lama, dan diam di netbook saya. jadi daripada mubazir, mending saya post. banyak typo,maaf saya malez ngedit. ok cekidot...

“Felisa, bangun!”, teriak ibu di balik pintu kamar Felisa.
“aku sudah bangun bu..”, jawab Felisa dengan nada santai.
“cepat mandi, ini sudah jam enam..”, suara ibu kembali terdengar.
“iya bu, aku akan mandi. Tapi aku tidak ingin lagi sekolah.”, Felisa beranikan diri untuk mengatakannya meski dengan sedikit rasa takut.
“kenapa?”, suara kaget ibu terdengar jelas.
Felisa pun hanya dapat berbicara dalam diam, “pasti ibu tidak akan paham dengan alasanku, dan jika toh paham pasti tidak akan bisa menerima alasanku. Karena ibu berbeda denganku, dan karena ibu selalu tidak bisa mengerti aku bahkan ingin mengerti pun tidak. Ego ibu terlalu tinggi.. Bukannya aku tidak ingin ibu mengerti aku, namun aku sangat ingin itu bahkan aku merasa sangat kesepian, dan saat ini aku tidak akan bisa membawa ibu dalam situasi ego beliau yang sangat kuat… aku hanya bisa menangis dalam sunyi…”.
Di ruangan sempit inilah Felisa bertahan hidup, “ di sini lebih nyaman dari pada aku harus berinteraksi dengan banyak orang aneh di luar sana. Kegiatanku hanya membaca buku, menuliskan sesuatu, dan munculnya banyak ide yang kemudian memaksaku untuk terus belajar dan merencanakan banyak hal termasuk target-target yang tak henti saling berkesinambungan terus menjadi semakin kompleks dan tertuju pada sebuah titik target besar. Yah, semuanya terus berlanjut..”.
Hingga bulan purnama pun tersenyum lebih dari tiga kali dalam malam tanpa bintang, gadis itu masih bertahan hidup di ruangan yang sangat membosankan sendiri. Dirinya terlihat semakin nyata di depan kaca, keinginannya benar-benar telah tersusun dan terrencana dengan cukup rapi, tapi gadis itu ingin lebih mematangkannya lagi, dia mencari banyak buku, pokoknya sebanyak mungkin agar yang terjadi benar-benar seperti dunia yang sudah ada dalam otaknya.
Yah, Felisa keluar kamar hanya untuk mencari banyak buku. Selebihnya, dia hanya akan menikmati hening di sudut ruangan itu..
####
Di sisi lain, akhirnya ibu semakin khawatir dengan keadaan Putrinya. Namun hanya ibu yang dapat berubah, yang lain masih harus sibuk dengan dirinya sendiri terlebih uang..
Perasaan rindu seorang ibu itu dapat meluluhkan egonya sendiri, di akhir hari ini ibu sering meluangkan waktu untuk mengadu pada psikolog tentunya mengadu perihal Felisa. Hingga pada akhirnya ibu tidak boleh lagi menginjakkan kaki di tempat beliau kerja, karena terlalu sering ijin. Ibu benar-benar tak menghiraukan lagi harta, uang dan lain sebagainya yang bersifat duniawi. Ibupun menjadi sangat akrab dengan psikolog itu, hingga ujungnya pun bulan terus berganti bersama sifat dan kesibukan ibu. Yah, ternyata ibu sekarang adalah benar-benar menjadi seorang ahli psikolog bahkan sekarang kebiasaan ibu adalah membaca buku, sesuatu yang tak pernah terbesit sekalipun. Ibu, benar-benar merasa sangat haus ilmu, hidup ibu menjadi lebih berarti, dan bahkan sifat duniawi itu seratus persen hilang..

####

Gerutu Felisa dengan linangan air mata,”Tiba-tiba sunyi dalam kamar tak dapat lagi ikut campur dalam menyelesaikan masalahku yang satu ini. Keinginanku itu benar-benar hanya akan sekedar tersimpan dan terlupakan, mungkin aku hanya akan dapat meninggalkan beberapa lembaran kertas saja yang akan menyampaikan ide-ide ku. Mungkin saja, akan ada orang yang dapat mewujudkannya.”.
Kedua bibirnya pun terus saja berbicara, “Bukan semudah yang aku bayangkan, untuk menuangkan ideku dalam alam nyata aku membutuhkan banyak hal, aku butuh seorang sahabat dekat yang hidupnya setujuan denganku. Aku butuh Felisa yang kedua, aku butuh diriku yang kedua sebagai teman dan pengukuh semangat dalam hatiku ini, namun semua itu tidak akan mungkin. Selamanya, aku tidak akan mampu hidup di dalam alam yang nyata. Aku mengaku telah putus asa. Dan aku memilih hidup bahagia, aku memilih hanya akan hidup dalam cerita di atas kertas, aku akan menyembunyikan diriku di alam cerita yang aku bisa mengendalikan semuanya.”.
Kemudian hening kembali lewat..
Dan masih berlanjut dengan iringan air mata, “Aku hanya akan hidup di dalam imajinasiku dan aku hanya akan hidup di dalam cerita belaka. Namun, memang hanya ada satu pilihan itu untuk menggapai segala mimpiku, aku dengan mudah akan dapat menciptakan seorang sahabat di alam ceritaku, aku akan membuat suasana yang sangat menyenangkan, aku akan menggambarkan diriku yang sangat bahagia bersama terwujudnya keinginanku walau memang hanya dalam coretan penaku. Hanya dengan imajinasi di atas kertas, aku akan bahagia selamanya. Sudahlah, benar-benar tidak akan ada yang lebih penting lagi. Karena aku akan membawa semuanya dalam lembaran kertasku…”.
Lembaran buku polos putih pun sudah mulai tercoretkan banyak kata indah dan lukisan yang menawan, setiap titik pun mengandung makna. Mulai dari setitik tinta hingga beribu-ribu kata tertegakkan dengan rapi oleh Felisa.
Wuah! Ternyata benar sekali pilihan Felisa, Felisa telah berhasil membawa dirinya dalam cerita dan hidupnya benar-benar terlihat sangat indah. Dengar-dengar sih katanya sekarang dia sudah punya seorang sahabat.
Felisa memamerkan dunianya kepada bulan purnama yang sedang berusaha naik dari arah timur, “Setiap detik aku dan sahabatku terus berdiskusi tanpa henti dan kami juga terus membuat target. Kami benar-benar sangat cocok, karena tujuan hidup kami adalah sama. Kami belajar bersama, berjuang bersama, dan terus berpikir bersama dan di hari kami tanpa ada dialog yang terhenti. Hidup kami diiringi dengan banyak ide dan keinginan bahkan kami dengan sangat mudah untuk menggapainya. Hidup benar-benar indah kan?”.
Senyum Felisa pun menandingi senyum purnama, dia telah pergi dari kesedihan.

####

Ibu semakin khawatir melihat perkembangan Felisa yang hampir seperti orang gila dan yang sangat sibuk dengan dunia mayanya. Sempat, ibu harus berlarut-larut terbawa kesedihan dan penyesalan atas sikapnya sendiri pada Felisa selama ini. Namun akhirnya, Ibu sadar bahwa waktu tak akan pernah bisa diulang dan waktu memang selalu mendatangkan penyesalan dan kemudian Ibu pun tersenyum bersama semangat, Ibu mulai melakukan sesuatu untuk Putrinya.
Dengan iringan waktu, kedekatan Ibu dan Felisa mulai bisa dilihat dan bahkan ikut kita rasakan. Mereka berdua sudah sangat akrab, namun tetap saja tak seakrab Felisa dengan buku serta penanya. Ternyata Ibu bukan lagi yang sangat berarti bagi Felisa, kecewanya pada dunia yang nyata membuat dia sangat tidak percaya pada siapapun bahkan pada Ibunya yang dulu sangat dia harapkan pelukan kasihnya. Dia lebih nyaman dan sangat bahagia hidup dalam sela-sela kata yang terlukis dalam hampanya kertas.
Ibu menghampiri Felisa yang tengah sendiri tanpa membawa pena beserta bukunya, “sayang, coba cerita sama ibu ya, seharian ini tadi Felisa belajar apa saja di kamar? ”.
“banyak banget.”, jawab Felisa tanpa ekspresi.
Ibu pun memeluk Felisa,“ibu sayang Felisa. Felisa tidak perlu sedih lagi ya, karena disini ada ibu yang selalu di samping Felisa.”.
Felisa pun berkata mengelak,“aku tidak sendiri bu, aku punya seorang sahabat yang sangat baik dan selalu mengerti diriku.”.
Ibu pun sedikit kaget namun dia sembunyikan ekspresinya, kemudian melontarkan pertanyaan untuk merespon kabar dari putrinya,“siapa dia, kok baik banget? Kenalkan ke ibu dong..”.
Felisa pun menyambung dengan senang hati,“ dia sangat mirip denganku, tapi dia tidak ingin berkenalan dengan orang-orang di dunia ini. Karena dia trauma dengan banyak orang di kehidupan ini.”.
Ibu yang sebenarnya masih bingung pun harus menyembunyikannya, “oh begitu ya. Kamu bujuk saja dia dan kamu bilang bahwa ibu sudah tidak lagi menakutkan, ibu adalah orang yang baik, pasti dia percaya dengan mu, Felisa Putri ibu kan baik dan tidak pernah bohong dan bahkan sangat pintar. Dan felisa harus berhasil loh ya.”.
“iya bu, nanti aku bujuk dia ya.”, Felisa bersemangat dan berlari mencari-cari buku kosong beserta penanya di sudut kamar.
Dan Ibu pun hanya tersenyum, kemudian memperhatikan sebuah buku yang sudah tidak ada lagi lembarannya yang polos tanpa huruf. Dan ibu membawanya keluar dari kamar Felisa, lalu membaca semuanya. Nah dari sini lah ibu mulai paham dengan apa yang sedang terjadi pada diri Putrinya, dan karena ibu sangat kagum dengan tulisan putrinya yaitu Felisa ibu pun segera mengetiknya dan kemudian dia bawa ke sebuah penerbit.
Sebulan kemudian, catatan diary Felisa telah menjadi sebuah buku yang dikemas dengan cantik dan menyedot banyak respon. Di sampulnya pun tertulis huruf kapital “SAHABAT ILUSI”, bahkan sampai 3 kali buku itu harus terbit ulang. Namun semuanya itu tidak berarti bagi ibu, dan Felisa tidak akan bahagia dengan namanya yang kowar-kowar di luar sana. Yang ada, ibu semakin sedih melihat Putrinya tanpa perkembangan.
Di tengah gerimis jingga, ibu termenung memikirkan putrinya. Kemudian ada suara yang mendekat dan mengagetkan yaitu suara putri tercintanya, “ibu…”.
“kenapa Felisa menangis?”, tanya ibu dengan ekspresi sedih.
“Felisa kesepian bu..”, adu Felisa dengan air matanya yang memantulkan cahaya jingga.
“kan ada ibu..”, ibu pun menggunakan senjata jitu dengan memeluk Felisa.
“aku sayang ibu..”, kata-kata yang tak terduga terdengar dari bibir mungil Felisa.
Air mata ibu pun ikut mengalir dengan sangat deras,“ ibu tidak sayang Felisa, namun Ibu sangat-sangat sayang Felisa.”.
“aku minta maaf dan terimakasih Bu..”, ucap Felisa masih dalam dekapan hangat sang Ibu.
Dan permohonan maaf dari Felisa mengingatkan ibu, “sama, Ibu juga minta maaf atas sikap Ibu selama ini.”.

####

Hari-hari semakin menyenangkan bagi Ibu dan Felisa, seakan hari-hari yang bahagia hanya mereka berdua yang memiliki. Felisa menjadi sangat terbuka kepada Ibu, dan ibu terus memanfaatkan hal itu agar semakin dekat dengan putrinya dan dapat membawa suatu perubahan.
Namun masih ada yang menjadi pertanyaan, kenapa Felisa tiba-tiba berubah begini ya? Oh ternyata usut punya usut, waktu itu tinta bolpoin Felisa habis makanya dia sedih dan kesepian karena seharian tidak menulis dan padahal dunianya yang menyenangkan hanya ada di sela-sela tinta yang mewarnai kertas putih. Akhirnya Felisa bersandar kepada jiwa yang cukup dekat dan akrab dengannya, dia adalah Ibu. Dan kemudian dia baru merasakan betapa nyamannya bersahabat dengan Ibu dan hal itu merupakan sesuatu yang sangat dia dambakan sejak dia mulai merasakan yang namanya sunyi, hampa, dan sendiri.
Di tengah kebahagiaan itu muncul sesosok yang akan membuat hidup Felisa benar-benar lengkap, menyenangkan dan yang akan membuat Felisa benar-benar semangat juga nyaman bersama hangat matahari untuk bernafas dan bahkan menari dengan kekuatan yang ada di alam nyata. Yah, dia adalah Fitri sosok sahabat yang selalu hadir dalam imajinasi Felisa. Dan Ibu menjadi seorang yang paling bahagia di dunia yang benar-benar nyata, begitu pula dengan Felisa dan juga Fitri.
“aku sudah membaca buku mu, dan aku merasa cocok dengan mu. Tujuan hidup kami akan sama.”, cerita Fitri bersama jilbabnya dengan nada lembut.
Felisa menanggapi dengan senyuman, “aku benar-benar tidak menyangka bahwa Tuhan akan sebaik ini denganku. Padahal kemarin aku sempat putus asa.”.
“Tuhan memang penuh Kasih dan Sayang, namun kita selalu melupakan dan bahkan tidak pernah menyadarinya. Dan saat kita menyadari itu, kita akan menyesali keluh kesah yang telah terucap.”, senyum dan ketenangan Fitri menandakan bahwa dia benar-benar seorang gadis yang sangt tangguh juga mandiri.
“kamu benar-benar sahabat yang sangat baik, kamu adalah diriku yang sudah dewasa, dan diriku yang sangat tangguh. Aku malu..”, wajahnya pun memelas dengan senyuman.
“bukan, kita ini sama. Yang pasti pertemuan kita akanlah menjadi sebuah ajang untuk saling melengkapi dan menguatkan, kita akan berjuang bersama kan?”, kali ini wajahnya bertanya tanpa senyuman.
Felisa pun sumringah membawa semangat, “iya, semangat! Oh iya, kalau boleh tahu Fitri rumahnya dimana?”.
Senyum kembali mewarnai wajah Fitri, “aku tinggal di sebuah desa yang sangat terpencil, jaraknya sekitar sepuluh kilometer dari sini. Di desa, semua teman-temanku tidak ada yang bisa menikmati dunia pendidikan, namun syukur Alhamdulillah kami masih bisa belajar ilmu agama, karena kebetulan di desaku dulu ada seorang yang menjadi santri. Yah walau kami belajar tanpa kitab karena kami tidak akan mampu untuk membeli satu kitab saja, namun Ustazd kami benar-benar seperti kitab berjalan. Dan justru dari keterbatasan itu semangat dari dalam diriku benar-benar tidak akan ada yang dapat menghapuskannya meski aku tidak sekolah, setiap hari aku bisa belajar seperti orang-orang yang mampu di dalam gedung sekolah sana. Kadang aku minta diajari seseorang dan kadang juga aku bisa nyuri-nyuri ilmu tuh di balik dinding gedung sekolah. Tapi hanya aku yang berani, karena teman-teman desaku juga harus mencari uang sih.”.
“kamu benar-benar yang tangguh, bagaimana kamu bisa terus semangat padahal segala keterbatasan selalu kamu hadapi?”, mata Felisa berkaca-kaca.
“ karena memang sejak aku berusia tujuh tahun aku sudah belajar yang namanya mandiri. Waktu itu aku harus ditinggal pergi oleh bapakku…”, Fitri bercerita dengan serius.
Namun tiba-tiba Felisa menyela, “bapak kamu pergi kemana?”.
Sejenak Fitri terdiam dalam senyum,“pergi meninggalkan dunia…”.
Tangan Felisia reflek menutup mulutnya,“ups! Maaf..”.
Fitri kembali melanjutkan cerita dengan tenang,“tidak maslah. Nah maka dari itu sejak aku berumur tujuh tahun tak pernah lagi yang namanya berani mengeluh, aku kasihan dengan Ibu. Setiap pagi sudah mulai siang aku selalu membantu Ibu di sawah, makanya kulitku coklat begini.. hehehe. Dan setiap sore setelah aku pulang dari sekolah (dari balik tembok sekolah maksudnya), aku kerja jadi pemulung kertas. Dan yang paling serunya aku selalu menemukan banyak buku yang masih layak untuk dibaca, kalau masalah baca kadang aku juga pinjam atau sewa buku gitu. Hmm… saat ini sih aku mempunyai cita-cita untuk menyejahterakan penduduk desaku, karena lama-lama aku bosan juga harus menunggu ulur tangan dari pemerintah. Aku juga ingin penduduk desaku itu tahu ilmu, bagaimana pun juga ilmu adalah mata kita untuk melihat.”.
“aku bingung dengan kata apalagi unutk memuji mu?”, senyum Felisa memelas memandang wajah Fitri,
“yang pnatas dipuji itu Alloh Fel, cukup ucapkan ‘AlhamduliLLAh’.”, Fitri mengingatkan.
“benar, AlhamduliLLAH. Oh iya, ini ada permen karet.”, Felisa menyuguhkan sebungkus permen karet.
Sambil mengambil dan membuka bungkus permen karet pun Fitri tak lupa berterimakasih,“ terimakasih Fel..”.
Jawab Felisa, “iya, sama-sama.”.
Setelah hening dan sunyi yang tiba-tiba datang, tiba-tiba pula Fitri menyeletukkan kata sambil memandangi tulisan dalam sebungkus permen karet, “iya, benar…”.
“apa Fit yang benar?”, Felisa bingung.
“ini ada sebuah kata yang mungkin cenderrung membuat orang bersedih atau bahkan menjadi lebih kuat, coba kamu ingat-inget terus ya bahwa kehilangan itu adalah sesuatu yang pasti. Yah begitulah, jangan pernah kamu merasa sesatu atau seseorang yang kamu milik sekarang ini akan berada di samping mu selamanya, tidak!”, kata Fitri tegas namun juga menyimpan kesedihan.
“betul juga kamu Fit..”, tampang lesu tak dapat disembunyikan lagi dari wajah Felisa.
“sekarang yang perlu dilakukan hanyalah segera memilih, kamu akan memilih untuk menerima kenyataan ini dengan baik atau malah akan menghindar darinya.”, Fitri mulai mengerucutkan pembahasan.
“aku ingin kuat namun aku tidak akan yakin dengan diriku ini.”, jawab FElisa dengan apa adanya.
“segala sesuatu itu yang menentukan adalah dirimu sendiri Fel, kamu cukup memilih dan kemudian kamu harus membuktikannya bersama banyak rintangan. Yang perlu diingat adalah bahwa hidup ini bukan untuk sekedar bersenang dan mampir tertawa tapi hidup adalah dalam rangka mampir mencari bekal, mengkhayal, dan melakukan berbagai hal dalam rangka untuk meninggalkan sesuatu.” Fitri mengingatkan dengan rasa penuh khawatir dan sayang pada sahabatnya.
“tapi, seperti yang telah terjadi bahwa hidup di alam nyata itu hanya mencari kesedihan. Kebahagiaan bukan berarti sesuatu yang selamanya salah kan, apakah salah jika aku juga ingin mengutamakan sebuah kebahagiaan?”, ternyata Felisa belum cukup paham dan pandai.
“kebahagiaan untuk dirimu sendiri itu egois namanya, dan padahal kamu bukan diciptakan hanya untuk tidur dalam zona nyaman. Alloh mewajibkan kita sebuah perjuangan dan padahal perjuangan itu adalah sesuatu yang sangat membosankan. Selama ini kamu telah menyimpan banyak keinginan yang bermanfaat untuk desa mu dan namun Alloh pun tidak akan percaya dengan omong kosongmu sehingga kendala, masalah datang sebagai ujian untuk mu, dan kamu harus membuktikan pilihan mu itu kepada Alloh.”, Fitri masih mencoba untuk menguatkan Fitri dalam menerima kenyataan.
“ya, aku akan berjuang.”, Felisa menegakkan badannya dan mata penuh semangatnya menghadap ke wajah Fitri.
Fitri beranjak berdiri dan memeluk tubuh kurus Felisa dan linangan air mata tak kuasa unutk ditahan, “jika Alloh menghendaki, sebentar lagi cobaan akan datang untuk menguatkan dirimu bukan mengahncurkanmu. Pesanku, tetap konsisten dan istiqomah pada pilihanmu dan tak perlu menghiraukan kesendirian karena kita akan berjuang bersama dan Alloh akan tetap menolong kita selama kita masih merasa menjadi hamba-Nya yang berada di jalan-Nya.”.
Felisan hanya dapat menangis ingga nafasnya pun terdengar sesak berada dalam pelukan Fitri..
“hidup kita bukan untuk bahagia, tapi untuk menikmati bosannya perjuangan. Jangan prnah seekali-kali kamu menghindar dari kebosanan. Kita adalah sepasang sahabat sejati, cinta kita untuk Alloh dan orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan cinta kita bahkan alam ini pun juga. Jika toh maut harus menjemput salah satu dari kita tapi kita masih dapat bertemu kok, namun aku juga tidak berharap itu. Aku berharap kita akan berjuang bersama di dunia ini dan kita akan saling menguatkan. Semangat!”, pelukan itu pun harus dilepaskan.
Senyum semangat telah mampu menghapuskan air mata bagi sepasang sahabat itu, meski kekhawatiran ataas kenyataan yang belum tercium kedatangannya masih meliputi hati mereka, dan namun kekhawatiran itu segera hilang karena rasa yakin mereka atas pertolongan Alloh..

#####

Mentari yang sempat tersenyum pun harus berselimut dalam awan gelap, bunga-bunga yang segar mandi embun kembali layu, Fitri tak mampu menahan bendungan air matanya, jeritan dalam hati pun ikut dia kabarkan pada banyak orang, tangannya tak henti mencengkeram kepala, dan tubuhnya benar-benar terlihat lemas..
Cobaan pertama benar-benar telah dikabarkan pada Felisa, kedua orang dalam hatinya harus di telan bumi. Maut telah menjeput ibu tercinta dan Fitri sahabat tercinta. Kecelakaan lah penyebabnya..
Dia benar-benar terpukul dengan sangat tiba-tiba, tubuhnya tersungkur lemas..
Namun akhirnya, pesan Fitri dapat kembali menyusun hati Felisa yang sudah remuk berantakan, “BismiLLAH.. aku telah memilih, aku akan terus mengingat pesan sahabatku. Aku telah berjanji pada sahabatku untuk berjuang menikmati kebosanan. Aku bersedih, namun aku bahagia karena aku bersama Alloh… aku akan tegar menari-nari di tengah kedamaian dan keharmonisan desaku dan desa sahabatku. Aku akan kuat!.”.
The end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar